Dolor sit amet, consetetur sadipscing elitr, seddiam nonumy eirmod tempor. invidunt ut labore et dolore magna aliquyam erat, sed diam voluptua. Lorem ipsum dolor sit amet, consetetur sadip- scing elitr, sed diam nonumy eirmod tempor invidunt ut labore et dolore magna aliquyam erat, sed diam voluptua. Lorem ipsum dolor sit amet, consetetur sadipscing elitr, sed diam nonumy eirmod tempor invidunt ut labore et dolore magna aliquyam erat, sed diam voluptua. Lorem ipsum dolor sit amet, consetetur.
 

URGENSI MENGENAL TUHAN

Tanpa melihat dampak praktis individual atau sosial yang muncul dari pengenalan terhadap Tuhan, Asmâ`, dan sifat-sifat mulia-Nya, hal itu merupakan satu hal berharga yang dapat berpengaruh dalam kebahagiaan manusia. Karena kesempurnaan manusia terletak pada pengetahuan yang benar berkenaan dengan Diri-Nya. Manusia yang tidak mengenal Tuhan sebagaimana mestinya, ia tidak akan mungkin sampai pada kesempurnaannya, bagaimanapun ia berusaha dan beramal saleh.
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan merupakan kesempurnaan spiritual tertinggi yang mampu membawa manusia kepada hakekat di sisi-Nya.

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nya membumbung perkataan-perkataan yang baik dan amal yang salehlah yang menaikkan-Nya”. (QS. Fâthir : 10)[2]

Syahid Mutahhari dalam konteks ini menuturkan, “Kemanusiaan menusia terletak pada pengetahuannya tentang Tuhan, karena pengetahuan manusia tidak bisa terpisah dari-Nya, bahkan pengetahuan tersebut merupakan hal termulia dan termurni dalam eksistensi-Nya. Sejauh mana manusia mengetahui eksistensi, sistem, awal dan sumber eksistensi itu, maka terbentuklah kemanusiaannya yang separuh dari substansinya adalah ilmu pengetahuan. Menurut perspektif Islam, khususnya dalam perspektif Syi’ah, tanpa memandang efek praktis dan sosial yang ditimbulkan, mengenal Tuhan merupakan tujuan dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri”.[3]

Tuhan, Siapakah itu?
Siapa wujud yang disebut Allah oleh orang Arab, God oleh orang Barat, dan Khudo oleh orang Persia? Apa sifat-sifat-Nya? Apa hubungannya dengan kita? Bagaimana cara kita berhubungan dengan-Nya? Dan seterusnya.
Dengan memperhatikan sejarah manusia, kita akan dapat memahami bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan telah muncul sejak dahulu kala. Dengan kata lain, sejarah keyakinan terhadap Tuhan muncul seiring dengan keberadaan manusia. Tetapi, hal ini bukan berarti semua orang yang meyakini Tuhan memiliki persepsi dan definisi yang sama.
Polemik dan perbedaan pendapat tentang Tuhan ini sangatlah dahsyat sekali, terlebih di kalangan orang-orang yang mengandalkan akal dan pemikiran pribadi tanpa mendengarkan tuntunan para duta Ilahi. Sebelum kita menjelaskan sifat-sifat Tuhan dalam kaca mata Islam, alangkah baiknya jika kita bandingkan terlebih dahulu konsep Tauhîd dalam Islam dan konsep ke-Tuhanan dan beragama dalam pandangan agama lain. Untuk itu, di sini kami akan bawakan beberapa pandangan para ilmuwan nomor satu dunia mengenai Tuhan.

a. Tuhan Dalam Perspektif Sokrates
Sokrates (399-470) tidak berbeda dengan orang Yunani kebanyakan. Ia meyakini Tuhan yang berbilang. Berdasarkan sejarah filsafat yang dinukil dari karya-karyanya, Sokrates berkeyakinan bahwa manusia tidak butuh lagi bimbingan dan “uluran tangan” Tuhan untuk sampai pada kebahagiaannya. Sokrates juga tidak menyebut sama sekali posisi dan hubungan Tuhan dengan kehidupan manusia, walaupun pada tempat lain ia berkeyakinan bahwa kesempurnaan manusia harus berlandaskan moral dan etika.

b.Tuhan Dalam Perspektif Plato
Plato (348/347-428/427) berasumsi bahwa ada dua eksistensi yang disebut sebagai Tuhan: pertama, kebaikan absolut, dan kedua, Pencipta. Plato beranggapan bahwa kebaikan absolut adalah Tuhan asli atau Tuhan Bapak, sedang Pencipta adalah Tuhan Anak. Menurut keyakinannya, pengetahuan tentang kebaikan absolut sangatlah sulit, bahkan merupakan pengetahuan tersulit yang dapat dicapai. Dua Tuhan ini hanya bisa diketahui dan dipahami oleh para filsuf, di mana mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki keistimewaan spiritual, nalar, dan bahkan fisik. Perlu diingat bahwa bukan sembarang filsuf yang ia maksud. Yang dimaksud adalah hanya para filsuf yang telah menginjak usia 50 tahun yang mampu memahami kebenaran absolut. Sedangkan kelompok lain yang merupakan mayoritas, tidak akan mampu memahami keberadaan-Nya sampai kapanpun.

c. Tuhan Dalam Perspektif Arestoteles
Menurut keyakinan Arestoteles (322/321-384/383), alam senantiasa ada dari sejak dulu kala, dan tidak diciptakan oleh siapa pun. Oleh karenanya, Tuhan versi Arestoteles bukan Pencipta alam, tetapi penggerak alam itu sendiri yang diyakininya sebagai Tuhan; penggerak yang ia sendiri tidak bergerak. Ciri paling dominan yang dimilki oleh Tuhan versi Arestoteles ini adalah ia penggerak dan ia sendiri tak bergerak. Adapun poin penting dalam pengenalan Tuhan dalam perspektif Arestoteles adalah Tuhan tidak layak disembah, dicintai dan dinanti pertolongan-Nya. Tuhan Arestoteles tidak bisa menjawab dan membalas cinta hamba-Nya. Ia tidak memiliki andil sedikitpun dalam setiap tindakan manusia. Ia hanya sibuk memikirkan diri-Nya sendiri.[4]

d. Tuhan Dalam Perspektif Kaum Kristiani Abad Pertengahan
Pada pembahasan faktor-faktor yang membuat orang lari dari agama di Barat, telah kita singgung illustrasi gereja tentang Tuhan. Di sini kita akan tambahkan bahwa pada abad pertengahan, konsep ber-Tuhan adalah salah satu penyebab dari sekian banyak sebab yang berpengaruh dalam kehidupan. Orang-orang yang meyakini keberadaan Tuhan pada era ini selalu berasumsikan bahwa setiap fenomena yang tidak diketahui penyebab aslinya, seperti gerhana matahari dan bulan, mereka larikan semuanya kepada Tuhan dan menganggap Tuhanlah penyebab segalanya.
Kongklusi dari pendapat ini adalah Tuhan hanya bisa diketahui dalam kebodohan mereka, dan secara otomatis, semakin bertambah pengetahuan kita, maka semakin sempitlah ruang lingkup Tuhan, sehingga andaikata pada suatu saat segala tabir yang menutupi manusia tersingkap dan manusia telah memahami faktor naturalis dari berbagai fenomena, niscaya tidak ada tempat lagi bagi Tuhan dalam kehidupannya untuk selamanya.
Berdasarkan persepsi ini, hanya sebagian saja dari eksistensi yang menunjukan keberadaan Tuhan. Eksistensi tersebut adalah eksistensi yang tidak diketahui sebab keberadaan-Nya. August Comte mengatakan, “Ilmu pengetahuan adalah pemisah Tuhan dari kerja-Nya”.[5]
Maksud dari ungkapan ini adalah sampai sekarang manusia berasumsi bahwa sebab dari segala sesuatu adalah Tuhan. Artinya, Tuhan adalah seperti simbol kekuatan yang dipahami oleh mereka. Tak ubahnya bagaikan tukang sihir yang tanpa pendahuluan apapun sanggup menciptakan sesuatu. Contohnya, jika seseorang sakit kepala, kemudian ia ditanya kenapa kau sakit kepala, jawabannya adalah Tuhan yang menciptakannya. Maksud dari ungkapan ini adalah tidak ada faktor alami yang membuat sakit kepala itu. Sebagai konsekuensinya, ketika dipahami bahwa sakit kepala itu disebabkan oleh firus ini dan itu, maka Tuhan tidak mendapatkan tempat lagi di dalam benak mereka. Dan begitulah seterusnya, semakin tersingkap sebab-sebab (segala fenomena alam) yang dulunya terselubung, maka pengaruh Tuhan akan semakin sempit dan sempit hingga akhirnya tidak mereka yakini sama sekali.
Pada dasarnya, kelompok yang meyakini Tuhan seperti ini, mereka menganggap Tuhan tak lebih dari bagian alam semata.[6]

e.Tuhan Dalam Perspektif Galileo
Setelah abad pertengahan berlalu dengan mementaskan parade akbar ilmu-ilmu empiris, para ilmuwan yang tentunya memiliki landasan empirik, seperti Galileo (1564-1642), berpandangan lain tentang Tuhan. Ia berpendapat, “Alam adalah kumpulan dari sekian milyard atom yang tak terhingga. Setiap benda tersusun dari atom-atom itu, sedang “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan dan menyediakan atom-atom itu, sehingga ketika alam sudah tercipta berkat Tuhan (sebagai Pencipta atom), ia tidak butuh lagi kepada-Nya, dan berjalan sendiri secara independen”.[7]

f.Tuhan Dalam Perspektif Newton
Newton (1642-1727) menganggap bahwa hubungan Tuhan dan makhluk-Nya seperti hubungan jam dan pembuatnya. Sebagaimana jam bisa berjalan sendiri setelah dirancang dan disusun, alam pun juga demikian setelah diciptakan oleh Tuhan. Secara independen, ia wujud sebagaimana kita lihat sekarang. Newton juga menambahkan satu poin yang menjadi faktor pembeda pendapatnya dengan pendapat Galileo. Ia mengatakan, “Tuhan terkadang turun tangan dalam masalah tertentu. Tuhan juga meluruskan dan menata ketidakteraturan gerak planet-planet, dan mencegah benterokan-benterokan antara bintang satu dengan yang lain”.
Pendapat ini dapat kita katakan sebagai kelanjutan dari pandangan umum yang populer di abad-abad pertengahan yang meyakini Tuhan berada dalam tempat-tempat yang tak diketahui sebabnya. Ketika terungkap bahwa tidak terjadinya bentrokan antara galaksi bukan karena campur tangan langsung dari Tuhan dan sesuai dengan undang-undang ilmiah, maka untuk kesekian kalinya ”kerja” Tuhan kembali menyempit dan terbatas.[8]
Mayoritas ilmuwan yang hidup pada abad ke-17 dan 18 lebih meyakini pendapat Galileo ketimbang yang lain. Keyakinan tersebut, seperti yang kita bawakan sebelumnya, mengatakan, Tuhan menciptakan alam yang – dalam kelanjutannya – tidak membutuhkan lagi kepada Tuhan, seperti sebuah bangunan yang tidak butuh lagi kepada arsitek untuk kelanggengannya.

Ringkasan
1. Kemanusian manusia tergantung pada seberapa banyak pengetahuannya terhadap Tuhan, karena ilmu dan pengetahuan manusia merupakan bagian terpenting dan termulia dari eksistensinya. Mengenal Tuhan juga merupakan tujuan kemanusiaan.

2. Sokrates (399-470 SM.) meyakini adanya beberapa Tuhan, dan manusia untuk sampai pada kebahagiaannya tidak butuh lagi pada petunjuk dan bimbingan Tuhan. Sokrates tidak menjelaskan secara rinci kedudukan Tuhan serta hubungan-Nya dengan kehidupan manusia.

3. Plato (348/7-428 SM.) meyakini adanya dua Tuhan. Namun, hanya para filsuf sajalah yang mampu memahami dan mengenal dua Tuhan tersebut. Itupun setelah melalui beberapa jenjang dan tahapan yang amat padat di usia 50 tahunan. Sedang lapisan masyarakat yang lain, mereka tidak akan dapat mengenal Tuhan untuk selamanya.

4. Arestoteles (322/1-384 SM.) berasumsi bahwa alam itu Qadîm yang tidak diciptakan oleh siapapun. Tuhan versi Arestoteles bukanlah Pencipta alam, akan tetapi Ia hanya penggerak alam. Dalam keyakinannya, Tuhan tidak layak untuk disembah, dicintai, dan tak dapat dinanti pertolongan-Nya, sebab Ia tak mampu menjawab cinta kasih manusia, dan tak dapat melakukan apapun untuk manusia.

5. Kaum Kristiani abad pertengahan memiliki gambaran lain akan Tuhan. Mereka mensejajarkan Tuhan dengan sebab-sebab lain yang berpengaruh dalam kehidupan, dan ketika penyebab sebuah pristiwa tidak mereka ketahui, mereka langsung mengembalikannya kepada Tuhan.

6. Dalam perspektif Galileo, “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan atom-atom saja. Dunia, setelah tercipta, tidak lagi membutuhkan Tuhan. Oleh karena itu, ada-tidaknya Tuhan setelah itu tidak berpengaruh sama sekali atas alam. Teori dan pendapat ini banyak dianut oleh para ilmuwan abad ke-17 dan 18-an Masehi.

7. Newton meyakini hubungan Tuhan dan alam seperti hubungan arloji dan pembuatnya. Ia berkeyakinan, sewaktu-waktu Tuhan juga turun tangan untuk mengatur alam. Dan Ia juga mencegah sebagian ketidakteratuan dalam gerak dan perputaran galaksi.
Read more